Perjuangan


Perjuangan Ku dimulai dari rasa MALU....
MALU membuat_ku untuk berbuat yang terbaik

"Janji TUHAN Bagi_Ku seperti Fajar Pada PAGI HARI yang selalu CERAH dan BERSINAR"

"Pada Saatnya Kamu Akan Tahu bahwa Janji TUHAN INDAH PADA WAKTU_Nya"

Selasa, 11 Oktober 2011

Harian Berita Sore

Lampuan Harapkan Kepolisian Serius Ungkap 2 Kasus Pencabulan Anak

SUBULUSSALAM ( Berita ) : Lembaga Advokasi Perempuan dan anak (Lampuan) Kota Subulussalam mengharapkan agar pihak kepolisian setempat serius dalam mengungkap dua kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur.
“Kita concern melakukan pendampingan terhadap dua kasus pencabulan anak yang berinisial DW (10 tahun) dan FN (11 tahun) yang di duga di lakukan oleh ayah kandung dan abang tirinya sendiri dan kasus nya telah di laporkan serta masih dalam tahap penyelidikan di polsek Simpang Kiri”ujar Nobuala Halawa SH MH Direktur Eksekutif Lampuan kamis (06/10] dalam press realess nya.
Dikatakan Lampuan terus melakukan pendampingan terhadap pemeriksaan korban dan para saksi-saksi lainnya yang masih berjalan hingga saat ini,namun kami menyesalkan di Polsek Simpang Kiri tidak tersedianya Unit Pelayanan Perempuan Anak (PPA) yang dulu di kenal dengan RPK (Ruang Pelayanan Khusus).
Seharusnya Unit PPA harus ada di setiap Polsek untuk melakukan pemeriksaan bagi perempuan dan anak sebagai korban.dalam Unit PPA,seharusnya aparat yang melakukan pemeriksaan adalah perempuan yang telah di didik untuk pemeriksaan anak.sedangkan untuk kasus pencabulan di periksa penyidik laki-laki dan bukan penyidik khusus untuk anak katanya.
Nobuala  sangat menyayangkan karena ke-2 pelaku kasus pencabulan hingga saat ini belum tertangkap dan masih dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh pihak polsek,”Tindak pidana ini dikatagorikan tindak pidana khusus jadi penanganannya harus memperhatikan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak”.
Dia juga menghimbau agar dalam setiap pemeriksaan di tingkat penyelidikan,penyidikan korban / anak harus di dampingi baik oleh orang tua,keluarga,pendampingan anak dan berhak mendapat bantuan hukum sesuai dengan pasal 18 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak urainya.
Untuk menambah kepercayaan masyarakat kepada pihak kepolisian tambah Halawa dia berharap  polsek setempat untuk lebih ekstra lagi bekerja untuk mengungkap kasus tersebut dan bila perlu Polres Aceh Singkil turut aktif dalam memantua kasus yang terjadi agar para pelaku segera tertangkap dan di proses sesuai peraturan perundang-undangan.jangan sampai kasusnya berlarut-larut tampa ada kejelasan tegasnya menambahkan.
Lampuan juga mengutuk keras para pelaku pencabulan tersebut karena perbuatan itu dapat menyebabkan trauma yang serius bagi korban dan kepada pelaku agar di berikan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya sebagaimana maksud pasal 81 UU Nomor 23 Tahun 2002 katanya.(Zel).

Senin, 10 Oktober 2011

Berita Lampuan

LEMBAGA KOMUNIKASI WARTAWAN KOTA SUBULUSALAM (LKWKS) MEMINTA PENDAPAT LAMPUAN

PDFCetakSurel
TERKAIT KASUS PENCABULAN/PERKOSAAN ANAK DI KOTA SUBULUSALAM
Subulussalam. New Poskota
Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Lampuan) Kota Subulussalam merupakan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Subulussalam yang concern dalam hal pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan berbasis gender dan pendampingan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), baik anak sebagai pelaku tindak pidana, korban tindak pidana dan saksi dalam tindak pidana. Lampuan Kota Subulusalam didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 35 Tanggal 2 Februari 2011 dihadapan Firman Saputra, SH Notaris di Kota Subulussalam.

Hingga saat ini Lampuan Kota Subulussalam sudah menangani 19 kasus perempuan dan anak di Kota Subulusalam dan Aceh Singkil. Terakhir, kasus yang didampingi LAMPUAN adalah dua kasus pencabulan terhadap Anak yang berinisial DW (10 tahun) dan FN (11 tahun) di Kota Subulussalam.
Dua kasus yang berbeda tersebut diduga dilakukan oleh orang terdekat korban. Berdasarkan keterangan para korban, diduga DW dilakukan oleh ayah kandungnya sedangkan pada kasus FN diduga pelakukan adalah abang tirinya.

Secara garis besar kronologis pencabulan dalam hal ini LAMPUAN tidak bisa memberikan secara detail karena sifatnya privasi/pribadi dan sekarang kasus telah dilaporkan serta dalam tahapan penyelidikan oleh Kepolisian Polsesk Simpang Kiri.

Pada tahap Penyelidikan di Polses Simpang Kiri, Lampuan Kota Subulussalam melakukan pendampingan dengan cara melakukan pendampingan terhadap pemeriksaan korban dan saksi-saksi lainnya yang sampai saat ini masih berjalan. Tapi satu hal yang kami sesalkan adalah pada Polsesk Simpang Kiri, bahkan setiap polsek di Kota Subulusalam, tidak tersedia Unit Pelayanan Perempuan Anak (PPA) yang dulunya dikenal dengan RPK (Ruang Pelayanan Khusus). Seharusnya, unit PPA ini harus ada pada setiap Polsek untuk melakukan pemeriksaan bagi perempuan dan anak sebagai korban. Dalam Unit PPA, aparat yang melakukan pemeriksaan adalah perempuan yang telah dididik untuk pemeriksaan terhadap anak. Sedangkan untuk kasus pencabulan tersebut, diperiksa oleh penyidik laki-laki dan bukan penyidik khusus untuk anak. Untuk itu, Lampuan Kota Subulussalam berharap ke depan agar hal ini perlu diperhatikan oleh pihak Kepolisian.

Kemudian, Lampuan Kota Subulusalam menyayangkan sampai saat ini Pelaku kedua kasus tersebut hingga saat ini belum ditangkap dan masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polsek Simpang Kiri.

Mengingat Tindak Pidana Pencabulan terhadap Anak dikategorikan Tindak Pidana Khusus, dimana dalam hal penanganannya harus memperhatikan Undang-Undang Nomor 23 TAhun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Lampuan Kota Subulusalam Menghimbau Kepada Aparat Penegak Hukum Yang menangani Kedua Kasus tersebut :
1) Dalam setiap pemeriksaan baik ditingkat Penyelidikan, Penyidikan Korban/Anak, harus didampingi baik oleh Orang Tua, Keluarga, pendamping anak dan si anak berharap mendapatkan Bantuan Hukum dan bantuan lainnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa : “Setiap Anak yang menjadi korban atau Pelaku tindak Pidana berhak mendapat bantuan hukum dan Bantuan lainnya”.

2) Untuk menambah kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian, diharapkan kepada Kepolisian Polsek Simpang Kiri untuk lebih ekstra lagi bekerja untuk mengungkap Kasus tersebut dan kalau diperlukan Polres Singkil turut aktif dalam memantau kasus yang terjadi agar para pelaku segera tertangkap dan diproses sesuai peraturan perundang-undangan. Jangan sampai kasusnya berlarut-larut tanpa ada kejelasan.

3) Lampuan mengutuk Keras Pelaku Pencabulan tersebut karena perbuatan tersebut dapat menyebabkan trauma yang serius bagi korban dan kepada pelkau diberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 UU No.23 Tahun 2002, bahwa :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukuan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun penjara dan paling singkat 3 (tiga) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- dan paling sedikit Rp. 60.000.000,-.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

4) Semua pihak yang berkepentingan dalam kasus tersebut (baik pihak kepolisian, insane pers dan lembaga lainnya) agar dapat menghargai hak-hak korban baik dalam pemeriksaan pada tingkat kepolisian maupun dilingkungan masyarakat. Agar korban dapat pulih dari trauma yang dideritanya saat ini.

Selain Lampuan, elemen masyarakat juga sangat mengharapkan kepada Polres Aceh Singkil agar dapat dan mampu mencari dan menangkap pelaku pencabulan tersebut agar kiranya kepercayaan masyarakat di mata hukum terlebih dalam penegakannya, apalagi kasus seperti ini mohon kiranya ada i’tikad keseriusan.

Selain itu faktor-faktor kenapa kasus seperti ini sering terjadi perlu sekali ditelusuri, mungkin ada faktor pendukung, seperti minuman keras, Narkotika, situs porno dan mungkin banyak lagi yang lain, dan hal seperti ini perlu diawasi. Jikalau pengawasan dilakukan optimal, mungkin bisa menekan terjadinya hal-hal yang negatif.

LAMPUAN adalah sebuah lembaga yang benar-benar peduli dengan perempuan dan anak, baik itu tentang pengamananya, kesejahteraan, juga bila perempuan dan anak mendapat perlakuan tak senonoh

LAMPUANselalu siap mendampingi, persoalan baik KDRT dan lain-lain. Lampuan baru berdiri beberapa bulan, tapi telah mampu menunjukkan kinerja yang baik dimata masyarakat Kota Subulusalam. (SAR)

Sabtu, 08 Oktober 2011

Berita LAMPUAN

Wed, Apr 20th 2011, 09:46

Masih di Bawah Umur

Harian Serambi

Penahanan Tersangka Curanmor Ditangguhkan

SUBULUSSALAM - Kejaksaan Negeri (Kejari) Singkil, Jumat (15/4) menangguhkan penahanan terhadap tersangka kasus pencurian sepeda motor (curanmor) dengan tersangka EW (13), penduduk Kota Subulussalam. Terhadap penangguhan itu, Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Lampuan) Kota Subulussalam menyampaikan apresiasi kepada pihak kejaksaan karena dinilai sangat memahami peraturan perundang-undangan termasuk UU Perlindungan Anak yang memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang konflik dengan hukum.

Koordinator Eksekutif Lampuan, Nobuala Halawa SH MM, dalam siaran pers yang dikirim kepada Serambi, Senin (18/4) mengatakan, pihaknya telah pernah menyampaikan permohonan serupa kepada pihak Polsek Simpang Kiri agar kliennya dapat ditangguhkan penahanannya. Namun, kata Halawa, dengan berbagai alasan, kliennya tetap ditahan bahkan, saat penyerahan berkas terkait (P-21) ke Kejari Singkil tersangka turut dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Singkil.

Terkait dengan itu, Lampuan langsung mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap tersangka agar menjadi penahanan kota. Tersangka EW yang sempat mendekam dalam pengabnya sel tahanan mapolsek dan LP Singkil selama sebulan akhirnya dapat berkumpul dengan ibu dan saudaranya kembali setelah pihak kejaksaan mengabulkan penahanannya.

“Kami sangat mengapresiasi pihak kejaksaan karena mereka sangat memahami  undang-undang perlindungan anak,” tulis Halawa seraya menyatakan keprihatinan karena penangguhan penahanan tidak mereka dapatkan dari pihak kepolisian.

Dasar permohonan penangguhan penahanan terhadap Ew menurut Halawa, Tsk Ew adalah siswa Kelas III di salah satu SLTP di Subulussalam, di bawah umur dan baru pertama kali diduga melakukan tindak pidana, penahanan telah menyebabkan trauma psikologis terhadap tersangka, ibu kandung Ew menjamin anaknya tidak akan melarikan diri dan siap menghadiri panggilan kapan saja.

Seperti pernah diberitakan, aparat Kepolisian sektor (Polsek) Simpang Kiri, Kota Subulussalam meringkus seorang remaja yang diduga sebagai salah seorang dari empat pelaku pencurian sepeda motor (sepmor).(kh)

Berita LAMPUAN

Pemerkosa Murid SD Belum Ditangkap
Harian Serambi 
Sabtu, 8 Oktober 2011 08:52 WIB


SUBULUSSALAM - Dua pemerkosa dan pencabulan anak di bawah umur, masing-masing BF alias J (19) dan DK (32), hingga kini belum ditangkap. “Kami sudah mengejar, termasuk razia. Tapi, pelakunya belum ketemu,” ujar Iptu R Manung, kepada Prohaba, Jumat (7/10).

Kepala Kepolisian Sektor (Polsek) Simpang Kiri juga belum dapat menyimpulkan, kedua pemerkosa sudah melarikan diri ke luar Kota Subulussalam, sebagaimana isu beredar. Kendati demikian, polisi sudah melacak ke lokasi yang dicurigai menjadi tempat persembunyian kedua pemerkosa itu.

“Pelakunya sudah kami nyatakan buron. Keduanya sudah masuk dalam daftar pencarian orang polisi,” ujar Manurung. Sebelumnya, Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Lampuan) Kota Subulussalam menyoroti kasus penanganan korban kasus pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur ini. Lampuan menyatakan, seharusnya kasus tersebut ditangani oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

Menanggapi itu, Manurung menegaskan, kinerja Polsek Simpang Kiri mengusut kasus pemerkosaan tersebut dibackup Unit PPA Kepolisian Resor (Polres) Aceh Singkil. Namun lantaran personel polwan yang menangani masalah tersebut sedang hamil, maka tidak dapat menangani. “Ini kan teknis saja. Kalau itu harus, berarti kalau tidak ada Polwan lantas tidak diperiksa. Kan, bisa saja yang penting saat diperiksa didampingi orang tuanya,” terang Manurung.

Kutuk keras

Direktur Eksekutif Lampuan Subulussalam, Nobuala Halawa, mengutuk keras tindakan pemerkosaan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Atas kejadian ini, Lampuan mendesak polisi agar mengusut tuntas dan memberikan hukuman setimpal bagi pelakunya.

Sebab, kejahatan anak sebagaimana menimpa dua murid SD yang masihduduk di kelas V telah menimbulkan trauma serius terhadap kedua korban. “Jangan sampai kasus ini berlarut-larut. Polisi harus bekerja ekstra untuk menangkap kedua pelakunya,” tulis Nobuala Halawa.

Diberitakan sebelumnya, bocah perempuan di salah satu desa di Subulussalam, sebut saja Bunga (10)--bukan nama sebenarnya--menjadi korban pemerkosaan. Bocah kelas V salah satu SD itu harus kehilangan masa depannya setelah diperkosa BF alias J (19), yang tak lain abang tirinya. Kejadian dalam rumah membuat anak bau kencur ini terpukul.

Kasus kekerasan terhadap anak juga menimpa Mawar (11)--nama samaran, bocah perempuan yang mendapat perlakuan cabul oleh ayah kandungnya sendiri. Mawar yang juga masih duduk di kelas V SD dilaporkan dicabuli ayah kandungnya berinisial DK (32), sejak Agustus hingga September lalu.

Bahkan, pelaku dikabarkan telah melakukan aksi bejatnya terhadap darah dagingnya sendiri, hingga beberapa kali. Perbuatan itu dilakukan di rumah dan di dalam perjalanan. Caranya, pelaku membuka pakaian korban dan memasukkan jarinya ke kemaluan korban.

Namun, sejauh ini polisi belum menangkap kedua pemerkosa dan pencabul anak di bawah umur tersebut. Pemerkosa akan dijerat pasal pasal 81 ayat 1 UU RI No 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak. Dalam pasal ini, tersangka terancam hukum 15 tahun penjara. Sedangkan pencabul dengan pasal 82 UU RI Nomor 23 tahun 2003, tentang perlindungan anak jo pasal 64 KUHPidana. Ancamannya hukuman 15 tahun penjara.(kh)

Berita LAMPUAN

POLISI RINGKUS REMAJA PENCURI MOTOR

Kamis, 24 Mar 2011

Thu, Mar 24th 2011

Polisi Ringkus Remaja Pencuri Sepmor

Subulussalam
SUBULUSSALAM - Aparat Kepolisian sektor (Polsek) Simpang Kiri, Kota Subulussalam meringkus seorang remaja yang diduga satu dari empat pelaku pencurian sepeda motor (sepmor). Tersangka EW (14), warga Kota Subulussalam, dibekuk petugas, pukul 14.00 WIB, Rabu (16/3) di sebuah warnet Jalan Cut Nyak Dien, Kota Subulussalam.

Kapolres Aceh Singkil AKBP Helmi Kwarta Putra Kusuma Rauf yang dikonfirmasi Prohaba melalui Kapolsek Simpang Kiri, Iptu R Manurung, Selasa (22/3) mengatakan aksi pencurian terjadi pada Rabu pekan lalu di Jalan Teuku Umar, Desa Lae Oram, Kecamatan Simpang Kiri. Korbannya adalah Nuraida Berutu (42) penduduk Jalan Firdaus, Desa Subulussalam Utara yang berprofesi sebagai  pegawai negeri sipil. Korban Nur melaporkan hilangnya sepeda motor jenis Honda Vario BL 3578 I saat sedang dibawa anaknya ke sekolah SMPN Negeri 1 Simpang Kiri.

Atas laporan tersebut, pihak kepolisian langsung bergerak dan berdasarkan keterangan saksi petugas berhasil mengendus keberadaan salah seorang pelaku. Sementara tiga tersangka lainnya masing-masing berinisial BI (16), LB (16) dan RB (14) warga Subulussalam dikabarkan telah kabur dengan membawa barang  hasil curiannya kearah Sumatera Utara. Ketiga tersangka kini sedang dalam pengejaran petugas. “Satu dari empat tersangka kita tangkap pada hari yang sama sementara tiga rekannya telah kabur membawa barang curian kea rah Sumatera Utara,” kata Iptu Manurung.

Secara terpisah, Direktur Lembaga perlindungan perempuan dan anak (Lampuan) Kota Subulussalam, Halawa, SH, MH kepada wartawan meminta pihak kepolisian agar dalam penanganan kasus tersebut mengedepankan hak anak. Apalagi, tersangka EW diduga bukan pelaku utama sehingga tidak bisa dipaksakan. Halawa bahkan meminta kalau kasus tersebut sebaiknya dihentikan lantaran bukan pelaku utama. Hal ini mengingat anak terkait kondisinya masih labil. “Jadi harus ada upaya untuk mencari pelaku utamanya,” kata Halawa.

Halawa mengatakan pihaknya telah ditunjuk oleh keluarga untuk mendamping tersangka EW. Dalam proses penyidikan anak menurut Halawa berbeda dengan orang dewasa. Karena itu, Lampuan berupaya agar pelaku EW dapat ditangguhkan penahanannya. “Karena kehadiran Lampuan di Subulussalam salah satunya berperan dalam perlindungan anak,” tandas Halawa.  (kh)

Sabtu, 01 Oktober 2011

Opini

AKSES KEADILAN (ACCESS TO JUSTICE)
UNTUK MASYARAKAT KURANG MAMPU

 
Oleh:
NOBUALA HALAWA, SH.,MH


A
kses keadilan (Acces to Justice) yang dirasakan oleh sebagian masyarakat selama ini hanyalah sebuah retorika belaka. Dimana untuk mendapatkan sebuah keadilan dirasakan sebahagian masyarakat sangat mahal harganya untuk didapatkan artinya bahwa keadilan hanyalah milik orang kaya belaka. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kasus yang terjadi selama ini di masyarakat.

Berbagai kasus diketemukan namun agak risih rasanya untuk dijumpai penyelesaian yang berkeadilan hukum bagi seseorang yang seyogyanya mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya.
Sehingga timbul berbagai pertanyaan (anggapan pesimis) atau istilah ditengah-tengah masyarakat, antara lain: keadilan itu mahal harganya atau dengan istilah lain yaitu; UUD (Ujung-Ujungnya Duit), KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).

Mengingat semakin tingginya kasus diskriminatif selama ini terjadi, maka semakin tinggi pula kepedulian masyarakat untuk bergandengan tangan untuk melawan penindasan (diskriminatif) yang dilakukan.

Banyak masyarakat beranggapan bahwa penjajahan di Tanah Pertiwi masih saja berlangsung bahkan makin hari penjajahan itu masih sering diketemukan.

Penjajah (kolonial) telah pergi, maka sekarang yang ada adalah penjajahan yang diakomodir oleh orang-orang yang serakah dengan kekuasaan (dalam hal ini dapat digolongkan sebagai mafia berjubah dengan menggunakan kemeja berdasi, dan berwajah kemunafikan) dengan berbagai cara mereka lakukan demi untuk mencapai tujuan.

PERTANYAAN
Sejauhmana diskriminatif keadilan itu akan berakhir ditengah-tengah masyarakat saat ini ?
Berbagai contoh kasus sebagaimana yang diberitakan media massa baik cetak, elektronik, dan lain sebagainya akhir-akhir ini adalah “bagaimana nasib seorang ibu yang mencuri tandan buah sawit sampai dihukum lebih dari setahun penjara demi untuk bertahan hidup atau seorang anak yang masih dibawah umur mencuri voucher Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) harus di tangkap dan ditahan oleh pihak aparat penegak hukum dan atau kasus lainnya yang mungkin satu persatu sering diketemukan ditengah-tengah masyarakat”.

Pemberian sanksi hukum bila di bandingkan kasus korupsi yang dilakukan para koruptor selama ini sangat jauh berbeda penanganannya. Dengan kata lain bahwa “Koruptor masih bisa tersenyum dan melambaikan tangan-Nya bila berhadapan dengan hukum sedangkan bagi Si MISKIN yang berkonflik dengan hukum penuh dengan air mata dalam keadaan tangan diborgol dan diperlakukan tidak manusiawi oleh para aparat penegak hukum”.

Persamaan kedudukan dihadapan hukum (keadilan) pada dasar diatur dalam berbagai instrumen hukum baik hukum internasional maupun hukum nasional. Sebagai dasar fundamental persamaan hak didasarkan pada pondasi berdirinya negara khususnya Negara Kesatuan Rupiblik Indonesia (NKRI) yaitu Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama baik dihadapan hukum dan pemerintahan. Maka jelas disini bahwa setip warga negara baik yang kaya maupun orang miskin mempunyai hak yang sama.

Pemaparan berbagai kasus dan istilah sebagaimana yang dituangkan diatas mendorong penulis untuk menuangkan dalam buah pikir berupa tulisan sebagaimana yang telah diterbitkan berbagai media cetak baik lokal dan nasional antara lain: Ada Apa dengan Penegakkan Hukum di Indonesia ? (dapat dilihat di Harian KPK POS), SaatNya Reformasi dan Re-genasi Penegak Hukum di Indonesia, dan lain sebagainya.

Berbagai lembaga penegak hukum terbentuk sejak NKRI terbetuk dari orde lama, orde baru bahkan reformasi, namun tetap saja KEADILAN yang didamba-dambakan masih saja belum juga diketemukan wujudnya.

Cita-cita reformasi adalah membawa perubahan khususnya penegak hukum untuk meninggalkan kinerja buruk menuju kinerja yang lebih baik.

SOLUSI PENYELESAIAN

Untuk mewujudkan KEADILAN, berbagai hal yang harus dilakukan antara lain: Pertama, Niat untuk berbuat lebih baik dari penegak hukum itu sendiri (Personality Responsibility); Kedua, rekrutment penegak hukum yang sifatnya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dijauhkan, sebaiknya rekrutment dilakukan berdasarkan skill (kemampuan) personil; Ketiga, adanya kontroling, sanksi yang tegas bagi penegak hukum yang menyimpang dari tupoksinya.

Selain pencegahan (perventif) yang perlu juga dilakukan adalah antisipasi persuasif akibat dari tindakan yang dilakukan dalam hal untuk mendapatkan KEADILAN, antara lain:
Pertama, perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal menyediakan pendanaan Bantuan Hukum. Artinya akibat ketidak mampuan seseorang yang berkonflik dengan hukum dalam hal untuk menyediakan bantuan hukum maka berat rasanya untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya.

Maka yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah menyediakan pengalokasian anggaran untuk membiayain penyedian bantuan hukum bagi orang-orang yang kurang mampu sebagaimana yang diamanatkan baik oleh UUD 1945.

Penganggaran dimaksud sangat dibutuhkan mengingat Bantuan Hukum yang didapatkan dari lembaga hukum selama ini dirasakan kurang maksimal dalam hal memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum, hal ini tidak lain adalah dikarenakan masalah operasional dan lain sebagainya sehingga dirasakan bantuan yang diberikan juga cuma-Cuma alias apa adanya.

KASUS
Menilik dari kasus pengrusakan Kantor Bupati Singkil yang terjadi sekitar tanggal 30 Mei 2011 yang melibatkan Elemen Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM-GEMPA).

Pada dasarnya siapapun orang-Nya, pengrusakan dan sifat anarkisme tidak dibenarkan dan harus ditindak tegas.

Berbicara hukum bukan hanya berbicara kepada Kepastian Hukum (Hukum Positif) belaka, namun yang perlu diperhatikan adalah apakah keadilan hukum yang selama ini dituntut dan atau didambakan oleh sebahagian masyarakat sudah terakomodir atau tidak.

Berbicara Tindak Pidana, maka kita berbicara pada Sebab dan Akibat mengapa tindak pidana pengrusakan itu terjadi ?
Pengamatan Penulis, dalam hal penanganan pengrusakan kantor Bupati Singkil menilai bahwa: Aparat Penegak Hukum diindikasikan bahwa dalam hal menyelesaikan kasus pengrusakan hanya berpatokan pada apa yang terjadi atau dengan kata lain hanya melihat dari AKIBAT akhir dari sebuah peristiwa hukum;

2.    Pasal 27 UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap Warga Negara mempunyai Persamaan dan Kedudukan baik dihadapan hukum dan pemerintah
SEBAB Terjadi anarkisme dan pengrusakan diindasikan tidak lain adanya diskriminatif hak yang dilakukan oleh penguasa terhadap hak masyarakat, sehingga atas penyelewengan hak dimaksud dan atau atas lambannya penyelesaian masalah antara Masyarakat dengan PT. Nafasindo oleh Pemerintah Kabupaten Singkil menyebabkan tingkat amarah atau anarkisme mencuat;

3.    Tidak akomodirnya Hak-hak masyarakat untuk memperoleh hak-Nya sebagaimana yang telah di atur oleh Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang jelas dikatakan bahwa setiap kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota pada dasarnya/seyogianya harus mengakomodir Kepentingan Umum dan atau masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Peraturan Menteri Kehutanan dikatakan bahwa setiap perusahaan yang menginvestasikan modal berupa bidang pembangunan Perkebunan dalam hal ini wajib hukumnya untuk mengakomodir kepentingan masyarakat, berupa: Pertama, Pembangunan 20 % dari Modal Usaha Untuk Pembangunan Plasma Masyarakat; Kedua, menjalankan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan, masyarakat (Corporate Society Responsibility) dalam hal ikut serta meningkatkan mutu Pendidikan, Menjaga Lingkungan, dan lain sebagainya;

Maka apabila hal tersebut tidak dijalankan sebagaimana mesti oleh perusahaan maka dalam hal ini Pemerintah Kabupaten berkewajiban mencabut ijin Perusahaan yang bersangkutan.

Atas indikasi Pengarapan Lahan yang dilakukan oleh Perusahaan terhadap Lahan MasyarakatApabila diindikasikan adanya penyerobotan dan atau penggarapan lahan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap lahan masyarakat Aparat Penegak hukum wajib hukumnya mengusut tuntas peristiwa yang terjadi (karena aparat penegak hukum selain sebagai pelayan masyarakat juga bertindak sebagai pengayom bukan sebaliknya).

Aparat Penegak hukum bukan hanya menyalahi masyarakat belaka, namun Pemerintah Setempat juga harus diminta tanggung-jawab hukumnya atas peristiwa yang terjadi karena Pemkab setempat yang mengeluarkab Izin Prinsip terhadap Perusahaan.
Penegak hukum yang baik pada dasarnya selalu mengedepankan kepentingan umum bukan kepentingan individu, kelompok maupun kepentingan penguasa.
Diharapkan penyelesaian kasus pengrusakan kontor bupati singkil, aparat penegak hukum dalam hal  bertindak selalu mengedepankan:
Pertama, Azas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocent); Kedua, bukan hanya berpatokan pada AKIBAT peristiwa hukum yang terjadi, akan tetapi perlu memperhatikan juga SEBAB masyarakat melakukan tindak pidana; Ketiga, Aparat Penegak Hukum bukan hanya fokus pada kepastian hukum (Undang-Undang/KUHP) belaka dengan cara merangkai keindahan Pasal yang satu dengan Pasal yang lain demi untuk memberi rasa takut kepada pelaku, namun berilah Keadilan sebagaimana mestinya dengan hati Nurani sehingga Neraca Keadilan dimasyarakat dapat dirasakan; Keempat, Bagi Pemerintah setempat (eksekutif dan legislatif) sudah selayak-Nya ikut campur tangan dalam hal menyelesaikan peristiwa yang terjadi, bukan sebaliknya menjadi musuh bagi masyarakat-Nya yang sebahagian pelaku pengrusakan adalah masyarakat pemerintah itu sendiri; Kelima, kearogansian seorang penguasa tidak akan menyelesaikan sebuah permasalahan maka dengan telah terjadi tindak pidana dan sebahagian besar pelaku adalah masyarakat yang menurut penulis adalah masyarakat yang kurang mampu, maka akses berkeadilan (access to justice) dalam hal untuk mendapatkan bantuan hukum sudah selayaknya diberikan oleh Negara dalam hal ini pemerintah setempat, sehingga penyimpangan atau penyelewengan penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan lain sebagainya (atau dikenal  dengan istilah Mafia Peradilan) dapat dikontrol dan atau dihindari.
KEPASTIAN HUKUM AKAN BERJALAN APABILA KEADILAN HUKUM SUDAH DIJALANKAN SEBAGAIMANA MESTINYA

Penulis,
Pengamat Hukum Pidana Indonesia dan
Direktur Eksekutif LSM-LAMPUAN Kota Subulussalam
Alumni Pascsarjana UNPAD Bandung

Foto Kegiatan






 Kegiatan Music BBJ









 Narasumber Pada Acara Sosialisasi PKDRT 
Di Setdako Subulussalam








Jumat, 30 September 2011

Makalah Presentasi

HAK-HAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Oleh :
NOBUALA HALAWA, SH.,MH



PENDAHULUAN

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga, untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian dirinya. Jika kualitas perilaku dan pengendalian dirinya tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi tontonan keseharian masyarakat saat ini, hal ini dapat dilihat dari pemberitaan dari berbagai media baik media cetak, elektronik maupun media lainnya. Korban Kekerasan yang dialami sebagian besar dialami oleh Perempuan, Anak, Pembantu Rumah Tangga bahkan Suamipun juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri di dalam rumah tangga. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan semakin meningkat, dari kasus-kasus kekerasan tersebut.
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama bagi suami-isteri di dalam kehidupan rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum, maka kehidupan antara suami-isteri akan terhindar dari perselisihan atau tindakan-tindakan fisik yang cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang. Namun pada kenyataannya berbicara lain karena semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.
Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjelaskan bahwa hak setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  Serta segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Secara spesifik Hak Perempuan dalam Konsideran UU PKDRT dijelaskan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Sedangkan dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan pertama, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; kedua, bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; ketiga, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; keempat, bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; kelima, bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dalam Konvensi Hak Anak, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, yakni: pertama, Non diskriminasi; kedua, kepentingan terbaik bagi anak; ketiga, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; keempat, Penghargaan terhadap pendapat anak.
Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2), dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Atas amanah yang diberikan oleh undang-undang tersebut diatas maka dalam makalah ini dituangkan buah pemikiran tentang “HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.

IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Sejauhmana hak-hak korban menurut UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak ?
2. Faktor-Faktor dan upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam hal pemberantasan PKDRT ?

PEMBAHASAN
1.       Pengertian
a.        KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi :
1.      Kekerasan Fisik (physical abuse) (Pasal 6): adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Yang dimaksud dengan rasa sakit adalah kondisi seseorang mengalami penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1x24 jam. Bentuknya Seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak, menusuk, mendorong, memukul dengan sengaja.
2.      Kekerasan Psikis/emosional (emational abuse) (Pasal 7): adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti (menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan kehendak, mengisolasi isteri dari dunia luar). Bahkan menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Gender, kekerasan pshikis meliputi juga membatasi isteri dalam melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-hak reproduksinya sebagai perempuan. 
3.      Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c meliputi :
1)  Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2)   Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4.      Penelantaran Rumah Tangga (econimic abuse) Pasal 9 UU PKDRT adalah :
(1)  Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)    Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

b.       PKDRT
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

c.        Korban
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

d.       Perlindungan
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

2.       Ruang Lingkup KDRT
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT menjelaskan Lingkungan Keluarga:
a)        Suami, isteri, dan anak;
b)       Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c)        Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

3.       Asas dan Tujuan
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a)        Penghormatan hak asasi manusia;
b)       Keadilan dan kesetaraan gender;
c)        Non diskriminasi; dan
d)       Perlindungan korban.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a)        Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b)       Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c)        Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d)       Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

4.       Hak-Hak Korban KDRT

Menurut Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, Korban KDRT berhak mendapatkan:
a)        Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b)       Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c)        Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d)       Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e)        Pelayanan bimbingan rohani.

5.        Faktor-faktor dan upaya yang dilakukan terhadap PKDRT
1)      Faktor sulitnya PKDRT
KDRT khususnya Pada kasus kekerasan yang terjadi antara suami dan isteri dalam rumah tangga berbeda dengan kejahatan pada umumnya, pada tindak kekerasan ini, situasi dan kondisi isteri sebagai pihak korban adalah sedemikian rupa, sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingannya berdasarkan motivasi dan rasionalisasi tertentu. Bahkan kadang-kadang melegitimasi tindakan jahatnya atas motivasi dan rasionalisasi tersebut.
1.      Sehingga dalam perkara tersebut seringkali bukti dan saksi sangat minim bahkan tidak ada. Dan untuk dapat menjerat pelaku KDRT, maka kemudian dilakukan terobosan baru dalam sistem pembuktiannya, yaitu dengan memberlakukan satu alat bukti merupakan bukti.  Hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 55 yang menyebutkan bahwa : “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”
2.      Meski demikian, tidak serta-merta akan memenuhi harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di negara ini yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan, baik kekuasaan ekonomi, sosial, maupun budaya.

Upaya Terhadap Pelaksanan PKDRT
Untuk terciptanya penegakan hukum yang baik, maka harus dibutuhkan faktor-faktor yang menunjang terciptanya penegakan hukum tersebut. Antara lain: pertama, faktor hukum; kedua, faktor penegak hukum; ketiga, faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; keempat, faktor masyarakat, kelima, faktor kebudayaan.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa untuk terciptanya penegakan hukum yang efektif, maka kelima faktor tersebut harus saling berkesinambungan satu sama lain, karena apabila salah satu dari kelima faktor tersebut didapati adanya kecacatan dalam hal menjalankan tugasnya tersebut maka penegakan hukum tidak akan berjalan efektif. diantara kesemua faktor tersebut di atas, faktor penegak hukumlah yang dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas. Sehingga jika dalam faktor penegakan hukum ditemukan adanya kecacatan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, maka penegakan hukum yang diterapkan sudah pasti tidak akan berjalan efektif, dan tidak sesuai dengan isi dari undang-undang yang mengaturnya tersebut.
Selain dari 5 (lima) faktor diatas, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing  sebagaimana yang diamanat Pasal 13 UUPKDRT dapat melakukan upaya:
a.    Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b.   Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.    Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.   Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. 


Ketentuan Hukum Pidana Formil Dalam UU PKDRT
Hukum acara yang berlaku dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur sesuai dengan KUHAP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 UU PKDRT yang berbunyi : ” Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
       UU PKDRT mengatur beberapa ketentuan tentang beracara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang ada dalam UU PKDRT, diantaranya  adalah :
1.      Adanya kewajiban dari kepolisian untuk segera memberikan perlindungan sementara pada korban dalam waktu 1x24 jam sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga. (Pasal 16)
2.      Diperbolehkannya relawan pendamping dan penasehat hukum korban untuk mendampingi korban di setiap tingkat penyidikan, penuntutan, atau tingkat pemeriksaan di pengadilan. (Pasal 17)
3.      Adanya kemungkinan pidana tambahan di luar denda atau penjara, berupa pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, dan penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. (Pasal 50)
4.      Diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (Pasal 55)
5.      Laporan tertulis hasil pemeriksaan korban berupa Visum et Repertum atau surat keterangan medis/rekam medis memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
6.       Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat (rumah sakit swasta)
7.      Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku:
a.        untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
b.      Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
c.       Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. (Pasal 38)

            Dalam hal perlindungan anak, orang tua merupakan garda terdepan dalam upaya perlindungan anak. Dalam Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan,
Orangtua diposisikan pada paling depan bagi upaya perlindungan anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orangtuanya sendiri”.


KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana dimaksud dalam makalah ini diharapkan kedepan guna perbaikan dan kemajuan dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, antara lain:
Guna terjaminya penegakan hukum maka diperlukan adanya tindakan yang baik dan tepat dari para penegak hukum yang bisa memberi arti penting kekerasan yang menimpa korban KDRT sehingga korban kekerasan tidak ragu untuk melanjutkan niatnya melaporkan kekerasan yang terjadi atau yang diterimanya. Karena selama ini masih banyak kasus kekerasan yang ragu untuk dilaporkan atau diadukan ke kepolisian karena takut tidak ditanggapi oleh aparat, dan takut dicemooh ketika melaporkan kasusnya.




[1]        Nobuala Halawa, SH.,MH, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (LAMPUAN) Kota Subulussalam, Staff Ahli Ketua DPRK Subulussalam, Konsultan Hukum Pada Kantor Hukum GULTOM, HALAWA & REKAN Medan, Makalah disampaikan dalam Acara Sosialisasi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang diselenggarakan Badan Pemberdayaan Perempuan Kota Subulussalam. Subulussalam, 14 Februari 2011.