Perjuangan


Perjuangan Ku dimulai dari rasa MALU....
MALU membuat_ku untuk berbuat yang terbaik

"Janji TUHAN Bagi_Ku seperti Fajar Pada PAGI HARI yang selalu CERAH dan BERSINAR"

"Pada Saatnya Kamu Akan Tahu bahwa Janji TUHAN INDAH PADA WAKTU_Nya"

Jumat, 30 September 2011

Makalah Presentasi

HAK-HAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Oleh :
NOBUALA HALAWA, SH.,MH



PENDAHULUAN

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga, untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian dirinya. Jika kualitas perilaku dan pengendalian dirinya tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi tontonan keseharian masyarakat saat ini, hal ini dapat dilihat dari pemberitaan dari berbagai media baik media cetak, elektronik maupun media lainnya. Korban Kekerasan yang dialami sebagian besar dialami oleh Perempuan, Anak, Pembantu Rumah Tangga bahkan Suamipun juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri di dalam rumah tangga. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan semakin meningkat, dari kasus-kasus kekerasan tersebut.
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama bagi suami-isteri di dalam kehidupan rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum, maka kehidupan antara suami-isteri akan terhindar dari perselisihan atau tindakan-tindakan fisik yang cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang. Namun pada kenyataannya berbicara lain karena semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.
Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjelaskan bahwa hak setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  Serta segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Secara spesifik Hak Perempuan dalam Konsideran UU PKDRT dijelaskan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Sedangkan dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan pertama, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; kedua, bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; ketiga, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; keempat, bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; kelima, bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dalam Konvensi Hak Anak, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, yakni: pertama, Non diskriminasi; kedua, kepentingan terbaik bagi anak; ketiga, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; keempat, Penghargaan terhadap pendapat anak.
Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2), dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Atas amanah yang diberikan oleh undang-undang tersebut diatas maka dalam makalah ini dituangkan buah pemikiran tentang “HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.

IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Sejauhmana hak-hak korban menurut UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak ?
2. Faktor-Faktor dan upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam hal pemberantasan PKDRT ?

PEMBAHASAN
1.       Pengertian
a.        KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi :
1.      Kekerasan Fisik (physical abuse) (Pasal 6): adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Yang dimaksud dengan rasa sakit adalah kondisi seseorang mengalami penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1x24 jam. Bentuknya Seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak, menusuk, mendorong, memukul dengan sengaja.
2.      Kekerasan Psikis/emosional (emational abuse) (Pasal 7): adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti (menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan kehendak, mengisolasi isteri dari dunia luar). Bahkan menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Gender, kekerasan pshikis meliputi juga membatasi isteri dalam melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-hak reproduksinya sebagai perempuan. 
3.      Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c meliputi :
1)  Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2)   Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4.      Penelantaran Rumah Tangga (econimic abuse) Pasal 9 UU PKDRT adalah :
(1)  Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)    Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

b.       PKDRT
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

c.        Korban
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

d.       Perlindungan
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

2.       Ruang Lingkup KDRT
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT menjelaskan Lingkungan Keluarga:
a)        Suami, isteri, dan anak;
b)       Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c)        Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

3.       Asas dan Tujuan
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a)        Penghormatan hak asasi manusia;
b)       Keadilan dan kesetaraan gender;
c)        Non diskriminasi; dan
d)       Perlindungan korban.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a)        Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b)       Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c)        Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d)       Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

4.       Hak-Hak Korban KDRT

Menurut Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, Korban KDRT berhak mendapatkan:
a)        Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b)       Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c)        Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d)       Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e)        Pelayanan bimbingan rohani.

5.        Faktor-faktor dan upaya yang dilakukan terhadap PKDRT
1)      Faktor sulitnya PKDRT
KDRT khususnya Pada kasus kekerasan yang terjadi antara suami dan isteri dalam rumah tangga berbeda dengan kejahatan pada umumnya, pada tindak kekerasan ini, situasi dan kondisi isteri sebagai pihak korban adalah sedemikian rupa, sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingannya berdasarkan motivasi dan rasionalisasi tertentu. Bahkan kadang-kadang melegitimasi tindakan jahatnya atas motivasi dan rasionalisasi tersebut.
1.      Sehingga dalam perkara tersebut seringkali bukti dan saksi sangat minim bahkan tidak ada. Dan untuk dapat menjerat pelaku KDRT, maka kemudian dilakukan terobosan baru dalam sistem pembuktiannya, yaitu dengan memberlakukan satu alat bukti merupakan bukti.  Hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 55 yang menyebutkan bahwa : “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”
2.      Meski demikian, tidak serta-merta akan memenuhi harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di negara ini yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan, baik kekuasaan ekonomi, sosial, maupun budaya.

Upaya Terhadap Pelaksanan PKDRT
Untuk terciptanya penegakan hukum yang baik, maka harus dibutuhkan faktor-faktor yang menunjang terciptanya penegakan hukum tersebut. Antara lain: pertama, faktor hukum; kedua, faktor penegak hukum; ketiga, faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; keempat, faktor masyarakat, kelima, faktor kebudayaan.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa untuk terciptanya penegakan hukum yang efektif, maka kelima faktor tersebut harus saling berkesinambungan satu sama lain, karena apabila salah satu dari kelima faktor tersebut didapati adanya kecacatan dalam hal menjalankan tugasnya tersebut maka penegakan hukum tidak akan berjalan efektif. diantara kesemua faktor tersebut di atas, faktor penegak hukumlah yang dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas. Sehingga jika dalam faktor penegakan hukum ditemukan adanya kecacatan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, maka penegakan hukum yang diterapkan sudah pasti tidak akan berjalan efektif, dan tidak sesuai dengan isi dari undang-undang yang mengaturnya tersebut.
Selain dari 5 (lima) faktor diatas, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing  sebagaimana yang diamanat Pasal 13 UUPKDRT dapat melakukan upaya:
a.    Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b.   Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.    Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.   Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. 


Ketentuan Hukum Pidana Formil Dalam UU PKDRT
Hukum acara yang berlaku dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur sesuai dengan KUHAP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 UU PKDRT yang berbunyi : ” Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
       UU PKDRT mengatur beberapa ketentuan tentang beracara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang ada dalam UU PKDRT, diantaranya  adalah :
1.      Adanya kewajiban dari kepolisian untuk segera memberikan perlindungan sementara pada korban dalam waktu 1x24 jam sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga. (Pasal 16)
2.      Diperbolehkannya relawan pendamping dan penasehat hukum korban untuk mendampingi korban di setiap tingkat penyidikan, penuntutan, atau tingkat pemeriksaan di pengadilan. (Pasal 17)
3.      Adanya kemungkinan pidana tambahan di luar denda atau penjara, berupa pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, dan penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. (Pasal 50)
4.      Diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (Pasal 55)
5.      Laporan tertulis hasil pemeriksaan korban berupa Visum et Repertum atau surat keterangan medis/rekam medis memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
6.       Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat (rumah sakit swasta)
7.      Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku:
a.        untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
b.      Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
c.       Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. (Pasal 38)

            Dalam hal perlindungan anak, orang tua merupakan garda terdepan dalam upaya perlindungan anak. Dalam Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan,
Orangtua diposisikan pada paling depan bagi upaya perlindungan anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orangtuanya sendiri”.


KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana dimaksud dalam makalah ini diharapkan kedepan guna perbaikan dan kemajuan dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, antara lain:
Guna terjaminya penegakan hukum maka diperlukan adanya tindakan yang baik dan tepat dari para penegak hukum yang bisa memberi arti penting kekerasan yang menimpa korban KDRT sehingga korban kekerasan tidak ragu untuk melanjutkan niatnya melaporkan kekerasan yang terjadi atau yang diterimanya. Karena selama ini masih banyak kasus kekerasan yang ragu untuk dilaporkan atau diadukan ke kepolisian karena takut tidak ditanggapi oleh aparat, dan takut dicemooh ketika melaporkan kasusnya.




[1]        Nobuala Halawa, SH.,MH, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (LAMPUAN) Kota Subulussalam, Staff Ahli Ketua DPRK Subulussalam, Konsultan Hukum Pada Kantor Hukum GULTOM, HALAWA & REKAN Medan, Makalah disampaikan dalam Acara Sosialisasi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang diselenggarakan Badan Pemberdayaan Perempuan Kota Subulussalam. Subulussalam, 14 Februari 2011.

Foto



Opini

Kriminalisasi KPK Sebagai Upaya Perlawanan Kepada Koruptor

Senin, 28 Maret 2011 | 22:56:34
TINDAK Pidana Korupsi diartikan: Pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; Kedua, setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara dan Perekonomian Negara.

Keberhasilan atas pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurut pengamatan penulis sudah seyogianya mendapat dukungan dari berbagai elemen negeri ini.

KPK dibentuk atas dasar ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum yang selama ini ada sebelum dibentuknya KPK (masyarakat menilai bahwa penanganan korupsi yang dilakukan oleh lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga lainnya masih berjalan ditempat dan atau diindikasi penanganan yang dilakukan masih bersifat konvensional). Atas dasar tersebut maka secara konstitusional keberadaan KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Tugas KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dukungan yang diberikan atas pembentukkan KPK ternyata berdampak positif dalam pemberantasan korupsi di Negeri ini. Berbagai kasus terungkap diantaranya Kasus Korupsi yang melibatkan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh, Korupsi di KPU atas pengadaan logistik pemilu, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran yang melibatkan mantan Walikota dan Wakil Walikota Medan Abdillah, Kasus lainnya melibatkan kepala daerah serta kasus fenomenal saat ini adalah isu pengambil-alihan kasus yang dilakukan oleh sang Aktor Mafia Pajak Gayus Tambunan, Cs serta terbongkarnya kasus suap traveleers cheqeu yang melibat mantan wakit rakyat (Anggota DPR-RI) periode 1999-2004 atas kasus pemenangan Miranda Goeltom sebagai Gubernur BI.

Yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan pembaca artikel ini adalah, apa masih diperlukan KPK dalam Pemberantasan Korupsi ?

Keberadaan KPK pada dasar tidak terlepas dari tujuan bersama menuju masyarakat sejahterah dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan. Penyelenggaran pemerintahan yang bersih tidak terlepas dari monitoring atau kontrol dari lembaga yang bersih pula dan sifat lembaga dimaksud bersifat independensi. Maka dalam hal ini KPK dinilai berkompeten menangani kasus korupsi dimaksud. Namun, dukungan yang diberikan kepada KPK selama ini lamban-laun luntur mengikuti perkembangan. Hal ini didasarkan atas kepentingan keserakahan para koruptor yang berbijak atas alas kepentingan politik, pribadi, kelompok dan kepentingan lainnya.

Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dirasakan menghambat gerak-gerik para koruptor untuk melakukan tindakan bejat dan keserakahannya. Upaya perlawanan para koruptor menurut pengamatan penulis dirasakan dilakukan secara berjamaah pula sebagaimana korupsi dilakukan, bahkan perlawanan para koruptor dinilai dipengaruhi berbagai kepentingan dan elemen. Kriminalisasi terhadap KPK dapat dirasakan dengan pengusiran kedua pimpinan KPK Candra Hamzah dan Bibit Selamat Ryanto dari Gedung DPR-RI dalam acara Dengar Pendapat oleh sebahagian anggota Komisi III DPR-RI atas Penanganan berbagai Kasus yang selama ini dilakukan oleh KPK. Atas sikap yang ditunjukkan oleh sebahagian anggota Legislatif tersebut diindikasi adanya intevensi politik terhadap KPK atau sebagai serangan balik dari sebuah tindakan penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Rekan-Rekan Mantan Wakil DPR-RI, sehingga akibat dari serangan balik tersebut berdampak pada pelemahan pemberantasan korupsi. Dimana penilaian atas Depoonering (pengenyampingan perkara atas indikasi keterlibatan kedua pimpinan KPK terhadap kasus suap dengan koruptor Anggodo Cs) oleh sebahagian anggota legislatif menilai tindak pidana maupun status tersangka masih melekat kepada kedua pimpinan KPK, penilaian tersebut dinilai tidak beralasan karena dengan dikesampingkannya perkara pidana kedua pimpinanan KPK (depoonering) maka secara hukum status tersangka tidak melekat kedua pimpinan KPK dimaksud. Atas dasar tersebut maka tindakan yang dilakukan oleh sebahagian anggota legislatif tersebut diindikasikan adanya intervensi politik terhadap penegak hukum khususnya terhadap KPK.

Sehubungan dengan indikasi kriminalisasi yang dilakukan terhadap KPK tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah dibutuhkannya gerakan moral yang memadai dari seluruh lapisan masyarakat untuk memonitoring segala bentuk upaya yang dilakukan para koruptor maupun lembaga lainnya dalam hal mengkerdilkan atau berupaya mengkriminalisasikan kinerja dan kewenangan KPK.

Penulis,
Adalah Pengamat Hukum Pidana Indonesia,
Direktur Eksekutif LSM-LAMPUAN - Kota Subulussalam,
Alumni Pascsarjana UNPAD Bandung

Opini

Kriminalisasi KPK Sebagai Upaya Perlawanan Kepada Koruptor

Senin, 28 Maret 2011 | 22:56:34
TINDAK Pidana Korupsi diartikan: Pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; Kedua, setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara dan Perekonomian Negara.

Keberhasilan atas pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurut pengamatan penulis sudah seyogianya mendapat dukungan dari berbagai elemen negeri ini.

KPK dibentuk atas dasar ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum yang selama ini ada sebelum dibentuknya KPK (masyarakat menilai bahwa penanganan korupsi yang dilakukan oleh lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga lainnya masih berjalan ditempat dan atau diindikasi penanganan yang dilakukan masih bersifat konvensional). Atas dasar tersebut maka secara konstitusional keberadaan KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Tugas KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dukungan yang diberikan atas pembentukkan KPK ternyata berdampak positif dalam pemberantasan korupsi di Negeri ini. Berbagai kasus terungkap diantaranya Kasus Korupsi yang melibatkan Mantan Gubernur NAD Abdullah Puteh, Korupsi di KPU atas pengadaan logistik pemilu, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran yang melibatkan mantan Walikota dan Wakil Walikota Medan Abdillah, Kasus lainnya melibatkan kepala daerah serta kasus fenomenal saat ini adalah isu pengambil-alihan kasus yang dilakukan oleh sang Aktor Mafia Pajak Gayus Tambunan, Cs serta terbongkarnya kasus suap traveleers cheqeu yang melibat mantan wakit rakyat (Anggota DPR-RI) periode 1999-2004 atas kasus pemenangan Miranda Goeltom sebagai Gubernur BI.

Yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan pembaca artikel ini adalah, apa masih diperlukan KPK dalam Pemberantasan Korupsi ?

Keberadaan KPK pada dasar tidak terlepas dari tujuan bersama menuju masyarakat sejahterah dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan. Penyelenggaran pemerintahan yang bersih tidak terlepas dari monitoring atau kontrol dari lembaga yang bersih pula dan sifat lembaga dimaksud bersifat independensi. Maka dalam hal ini KPK dinilai berkompeten menangani kasus korupsi dimaksud. Namun, dukungan yang diberikan kepada KPK selama ini lamban-laun luntur mengikuti perkembangan. Hal ini didasarkan atas kepentingan keserakahan para koruptor yang berbijak atas alas kepentingan politik, pribadi, kelompok dan kepentingan lainnya.

Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK dirasakan menghambat gerak-gerik para koruptor untuk melakukan tindakan bejat dan keserakahannya. Upaya perlawanan para koruptor menurut pengamatan penulis dirasakan dilakukan secara berjamaah pula sebagaimana korupsi dilakukan, bahkan perlawanan para koruptor dinilai dipengaruhi berbagai kepentingan dan elemen. Kriminalisasi terhadap KPK dapat dirasakan dengan pengusiran kedua pimpinan KPK Candra Hamzah dan Bibit Selamat Ryanto dari Gedung DPR-RI dalam acara Dengar Pendapat oleh sebahagian anggota Komisi III DPR-RI atas Penanganan berbagai Kasus yang selama ini dilakukan oleh KPK. Atas sikap yang ditunjukkan oleh sebahagian anggota Legislatif tersebut diindikasi adanya intevensi politik terhadap KPK atau sebagai serangan balik dari sebuah tindakan penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Rekan-Rekan Mantan Wakil DPR-RI, sehingga akibat dari serangan balik tersebut berdampak pada pelemahan pemberantasan korupsi. Dimana penilaian atas Depoonering (pengenyampingan perkara atas indikasi keterlibatan kedua pimpinan KPK terhadap kasus suap dengan koruptor Anggodo Cs) oleh sebahagian anggota legislatif menilai tindak pidana maupun status tersangka masih melekat kepada kedua pimpinan KPK, penilaian tersebut dinilai tidak beralasan karena dengan dikesampingkannya perkara pidana kedua pimpinanan KPK (depoonering) maka secara hukum status tersangka tidak melekat kedua pimpinan KPK dimaksud. Atas dasar tersebut maka tindakan yang dilakukan oleh sebahagian anggota legislatif tersebut diindikasikan adanya intervensi politik terhadap penegak hukum khususnya terhadap KPK.

Sehubungan dengan indikasi kriminalisasi yang dilakukan terhadap KPK tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah dibutuhkannya gerakan moral yang memadai dari seluruh lapisan masyarakat untuk memonitoring segala bentuk upaya yang dilakukan para koruptor maupun lembaga lainnya dalam hal mengkerdilkan atau berupaya mengkriminalisasikan kinerja dan kewenangan KPK.

Penulis,
Adalah Pengamat Hukum Pidana Indonesia,
Direktur Eksekutif LSM-LAMPUAN - Kota Subulussalam,
Alumni Pascsarjana UNPAD Bandung

Opini

INDAHNYA KORUPSI UNTUK TIDAK DILAKUKAN !!!
Oleh : Nobuala Halawa SH.,MH

Ahad, 13 Februari 2011 | 22:02:02
Akhir-akhir ini kasus korupsi di Indonesia sering dijadikan tontonan yang menarik bagi masyarakat misalkan: Kasus Mafia Pajak yang melibatkan Gayus Tambunan Cs, Kasus korupsi yang dilakukan oleh berbagai kepala daerah di Indonesia (dari sabang sampai merauke diindikasi ada korupsi). Dari sekian banyak kasus menurut pengamatan penulis, sungguh ironis rasanya bila kita menilai bahwa korupsi sungguh indah untuk dilakukan, atas penilaian tersebut sudah saat korupsi dan koruptor diberantas.

Defenisi Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi diartikan: Pertama, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; Kedua, setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara dan Perekonomian Negara.

Korupsi merupakan perbuatan yang dulunya baik menjadi perbuatan yang tidak baik yang secara harafiah dinilai bahwa korupsi merupakan sebuah nilai yang diartikan sebagai Kebusukan, Kebejatan, Ketidak jujuran, dapat disuap atau penyimpangan dari Kesucian.

Dari defenisi sebagaimana dipaparkan diatas jelas bahwa korupsi merupakan perbuatan yang tercelah dan tidak terpuji yang dilakukan orang atau badan hukum atas dasar keserakahan sebagai seorang penguasa dan pengambil kebijakan.

Akibat dari keserakahan dan perbuatan tercelah tersebut, kasus korupsi dirasakan sampai saat ini masih menjadi persoalan klasik dari berbagai daerah di Indonesia, berbagai survey dilakukan namun kasus korupsi dirasakan makin hari bukan makin berkurang akan tetapi bertambah, mengapa hal tersebut terjadi ?

ADA BEBERAPA HAL SULITNYA KORUPSI DIBERANTAS :

Pertama, tidak adanya NIAT BAIK pelaku/tidak adanya KESADARAN HUKUM (yang menyuap dan menerima suap) untuk tidak melakukan korupsi;

Kedua, SANKSI yang dijatuhkan selama ini masih dirasakan RINGAN sehingga efek jera bagi koruptor tidak ada (sebaiknya amanah undang-undang Hukum Mati sudah selayaknya diberlakukan);

Ketiga, DISKRIMINATIF dalam hal penanganan tindak pidana korupsi (misalnya; berbagai kasus korupsi yang menjadi korban palu Hakim (Sang Pengadil) adalah kebanyakkan Pegawai Bawahan bukan Pejabat Pengambil Kebijakan);

Keempat, UNSUR POLITIK (adanya indikasi intervensi politik dari penguasa terhadap lembaga yudikatif khusus lembaga penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Lembaga Pengadilan) sebagai contoh kasus korupsi hasil penilaian penulian penulis terindikasi intervensi politik adalah: Kasus Sisminbankum, Kasus Bank Century, Kasus Gayus yang di indikasi melibatkan petinggi partai politik tertentu, kasus Pembunuhan yang diindikasikan oleh mantan ketua KPK, dan lain sebagainya:

Kelima, PENEGAK HUKUM (dapat baca di beberapa media tentang SaatNya Reformasi dan Regenerasi Penegak Hukum di Indonesia) dari tulisan tersebut, Penulis menilai bahwa sebahagian besar penegak hukum yang ditempatkan di lembaga hukum di Indonesia merupakan produk lama dan dinilai masih berjiwa korup dan bukan produk reformasi yang memiliki integritas dan idealisme yang memiliki sebuah tujuan hukum menuju Keadilan dan Kepastian akan Hukum dalam diri. Contoh Kasus: Jiwa Korup Aparat Penegak Hukum Produk Lama adalah: MelalangbuanaNya dan atau mondar-mandirNya Gayus Tambunan dari Penjara ke Bali, Adanya Fasilitas Mewah kepada kasus korupsi yang melibatkan Artalita Suryani di Penjara.

Menilik dari topik diatas, maka sudah saatnya ke-indahan akan korupsi yang selama ini dirasakan dan dilakukan “berjamaah” artinya kasus korupsi bukan hanya dilakukan oleh segelintir orang akan tetapi hampir semua instansi diindikasi tindak pidana korupsi diketemukan misalnya di lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif bahkan Kementerian Agama pun diketemukan korupsi yang seyogianya pengetahuan akan kebenaran kebaikan ada disitu dijauhkan atau dihindari.

Indahnya korupsi untuk tidak dilakukan merupakan ajakan kepada semua sektoral (sektor publik/pemerintah, sektor swasta, dsb) dan atau masyarakat untuk menjauhkan sifat korup, kebejatan, kebusukan, keserakahan dalam diri.

Kesulitan pemberantasan sebagaimana dikemukakan diatas sudah saat dijauhkan dan dicari solusi untuk mengatasinya demi mencapai cita-cita bersama dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam pemberantasan tindak tindak pidana korupsi kedepan antara lain: Pertama, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga hukum khususnya KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan perlu diberi aturan yang jelas sejauhmana pengaturan kewenangan tersebut dimiliki, misalnya nilai nominal objek perbuatan yang dilakukan tidak diatur secara mendetail atau terperinci sehingga diindikasi penanganan terjadi tumpang tindih dan sarang akan korupsi; Kedua, korupsi merupakan kejahatan luar biasa dan bukan kejahatan konvensional (kejahatan biasa) sehingga penanganannya harus extra ordinary (luar biasa), maka dengan kewenangan “super body” yang dimiliki oleh lembaga KPK dalam hal melakukan koordinasi dan supervisi dengan lembaga penegakkan hukum lainnya perlu ditingkatkan sebagaimana diamanahkan dalam pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi berbunyi: “tugas KPK yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi” serta mengambil-alih kasus korupsi terhadap lembaga penegak hukum lainnya apabila penanganan kasus korupsi dimaksud diindikasi ditelantarkan; Ketiga, dengan dibentuknya perwakilan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah khususnya di Tingkat Provinsi, dengan Apresiasi tinggi perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen demi untuk mengefesiensikan penanganan tindak pidana korupsi akan tetapi demi untuk memberikan pondasi atau fundamental hukum diperlukan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan secara spesifik; Keempat, Peran serta masyarakat perlu ditingkatkan artinya dengan dilibatkannya masyarakat dalam hal keikut sertaannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan korupsi cepat terungkap demi untuk mengahapus dan mengurangi tindak pidana korupsi: Kelima, menjalankan prinsip GOOD GOUVERNANCE antara lain mengandung prinsip nilai pemerintahan yang bersih/baik, transparan, akutanbel serta selalu berpihak pada kepentingan masyarakat dan atau kepentingan umum.

Menurut Penulis Korupsi diistilahkan sebuah nyanyian yang sering diperdengar berbunyi: “Disini SENANG………disana SENANG, dimana-mana hati-Ku SENANG” diartikan korupsi merupakan tindakan keserakahan atas dasar mencari solusi secara ILLEGAL dengan cara mengenyampingkan aturan atau perundang-undangan yang ada untuk mencapai satu tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan dan bukan kepentingan umum.

Bangsa Besar adalah BANGSA yang dalam bertindak selalu mengedepankan hukum sebagai “GERBANG TERDEPAN” dalam bertindak. Sudah SAAT SUPERMASI HUKUM DITEGAKKAN demi untuk mencapai suatu KEADILAN akan KEPASTIAN HUKUM.


Penulis adalah Pengamat Hukum Pidana Indonesia dan 

Direktur Eksekutif  LAMPUAN  Kota Subulussalam
Alumni Pascsarjana UNPAD Bandung.

Berita

Wed, Apr 20th 2011, 09:46

Masih di Bawah Umur

Penahanan Tersangka Curanmor Ditangguhkan

SUBULUSSALAM - Kejaksaan Negeri (Kejari) Singkil, Jumat (15/4) menangguhkan penahanan terhadap tersangka kasus pencurian sepeda motor (curanmor) dengan tersangka EW (13), penduduk Kota Subulussalam. Terhadap penangguhan itu, Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Lampuan) Kota Subulussalam menyampaikan apresiasi kepada pihak kejaksaan karena dinilai sangat memahami peraturan perundang-undangan termasuk UU Perlindungan Anak yang memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang konflik dengan hukum.

Koordinator Eksekutif Lampuan, Nobuala Halawa SH MM, dalam siaran pers yang dikirim kepada Serambi, Senin (18/4) mengatakan, pihaknya telah pernah menyampaikan permohonan serupa kepada pihak Polsek Simpang Kiri agar kliennya dapat ditangguhkan penahanannya. Namun, kata Halawa, dengan berbagai alasan, kliennya tetap ditahan bahkan, saat penyerahan berkas terkait (P-21) ke Kejari Singkil tersangka turut dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Singkil.

Terkait dengan itu, Lampuan langsung mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap tersangka agar menjadi penahanan kota. Tersangka EW yang sempat mendekam dalam pengabnya sel tahanan mapolsek dan LP Singkil selama sebulan akhirnya dapat berkumpul dengan ibu dan saudaranya kembali setelah pihak kejaksaan mengabulkan penahanannya.

“Kami sangat mengapresiasi pihak kejaksaan karena mereka sangat memahami  undang-undang perlindungan anak,” tulis Halawa seraya menyatakan keprihatinan karena penangguhan penahanan tidak mereka dapatkan dari pihak kepolisian.

Dasar permohonan penangguhan penahanan terhadap Ew menurut Halawa, Tsk Ew adalah siswa Kelas III di salah satu SLTP di Subulussalam, di bawah umur dan baru pertama kali diduga melakukan tindak pidana, penahanan telah menyebabkan trauma psikologis terhadap tersangka, ibu kandung Ew menjamin anaknya tidak akan melarikan diri dan siap menghadiri panggilan kapan saja.

Seperti pernah diberitakan, aparat Kepolisian sektor (Polsek) Simpang Kiri, Kota Subulussalam meringkus seorang remaja yang diduga sebagai salah seorang dari empat pelaku pencurian sepeda motor (sepmor).(kh)

Berita

Wed, Apr 20th 2011, 09:46

Masih di Bawah Umur

Penahanan Tersangka Curanmor Ditangguhkan

SUBULUSSALAM - Kejaksaan Negeri (Kejari) Singkil, Jumat (15/4) menangguhkan penahanan terhadap tersangka kasus pencurian sepeda motor (curanmor) dengan tersangka EW (13), penduduk Kota Subulussalam. Terhadap penangguhan itu, Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (Lampuan) Kota Subulussalam menyampaikan apresiasi kepada pihak kejaksaan karena dinilai sangat memahami peraturan perundang-undangan termasuk UU Perlindungan Anak yang memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang konflik dengan hukum.

Koordinator Eksekutif Lampuan, Nobuala Halawa SH MM, dalam siaran pers yang dikirim kepada Serambi, Senin (18/4) mengatakan, pihaknya telah pernah menyampaikan permohonan serupa kepada pihak Polsek Simpang Kiri agar kliennya dapat ditangguhkan penahanannya. Namun, kata Halawa, dengan berbagai alasan, kliennya tetap ditahan bahkan, saat penyerahan berkas terkait (P-21) ke Kejari Singkil tersangka turut dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Singkil.

Terkait dengan itu, Lampuan langsung mengajukan permohonan penangguhan penahanan terhadap tersangka agar menjadi penahanan kota. Tersangka EW yang sempat mendekam dalam pengabnya sel tahanan mapolsek dan LP Singkil selama sebulan akhirnya dapat berkumpul dengan ibu dan saudaranya kembali setelah pihak kejaksaan mengabulkan penahanannya.

“Kami sangat mengapresiasi pihak kejaksaan karena mereka sangat memahami  undang-undang perlindungan anak,” tulis Halawa seraya menyatakan keprihatinan karena penangguhan penahanan tidak mereka dapatkan dari pihak kepolisian.

Dasar permohonan penangguhan penahanan terhadap Ew menurut Halawa, Tsk Ew adalah siswa Kelas III di salah satu SLTP di Subulussalam, di bawah umur dan baru pertama kali diduga melakukan tindak pidana, penahanan telah menyebabkan trauma psikologis terhadap tersangka, ibu kandung Ew menjamin anaknya tidak akan melarikan diri dan siap menghadiri panggilan kapan saja.

Seperti pernah diberitakan, aparat Kepolisian sektor (Polsek) Simpang Kiri, Kota Subulussalam meringkus seorang remaja yang diduga sebagai salah seorang dari empat pelaku pencurian sepeda motor (sepmor).(kh)
Lembaga Advokasi Perempuan Dan Anak (LAMPUAN) Kota Subulussalam Di Bentuk

Senin, 28 Maret 2011 | 22:52:47

SUBULUSSALAM (NAD) - Berlandaskan undang-undang no. 39 tahun 199 tentang HAM selanjutnya undang-undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan banyak lagi undang-undang dengan tujuan yang sama. Disi lain juga yang terdapat dalam pasal 281 undang-undang 1945 ayat 1 bahwa disana adanya sebuah jaminan kesejahtraan warga Negara dengan menjunjng tinggi HAM dan seterusnya dinyatakan bahwa “berhak untuk hidup, berhak untuk tidak disiksa” dan lain-lain, yang jelas semua aturan dan undang-undang tersebut menjamin hak-hak semua orang, dan tidak mendapat “Diskriminasi” dalam segal ahal terlebih dimata “Hukum”.

Sederetan dengan undang-undagn dan peraturan tersebut yang mengatur tentang HAM, perlu kiranya dinegeri ini penghapusan segala bentuk “Diskriminasi”, terutama terhadap perempan konvensi hak anak, hak-hak sipil, politik (SIPOL) dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob).

Menyikapi semua hak-hak yang perlu perlindungan hukum, maka timbul sebuah kesepakatna bahwa di Kota Subulussalam juga sangat perlu didirikan “Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (LAMPUAN) dan lembaga ini telah berdiri beberapa bulan yang lalu dan berkantor di Jln. Pertemuan samping Gedung DPRK Subulussalam, dan selanjutnya Staf memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak dan LAMPUAN berdiri sebagai wadah untuk mengadvokasi perempuan dan anak, terlebih yang menjadi korban kebijakan
Secara singkat visi “LAMPUAN” ialah terciptanya kesejahteraan dan pemenuhan hak perempuan dan anak sebagai bagaian dari HAK. Misi LAMPUAN terpenuhinya hak-hak perempuan dan anak, dan terciptanya kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan anak, dalam kontak secara luas di daerah Kota Subulussalam.

Menurut “Koordinator eksekutif’ LAMPUAN, NOBUALA HALAWA, SH.MH kepada media ini, keberadaan lembaga ini sangat mengharapkan kepada Pemko Subulussalam juga kepada penegak hukum agar menjalin kerja sama yang baik. Seterusnya banyak program-program yang disusun disini yang telah baku sebagai Program “LAMPUAN” yang sifatnya selalu berpihak kepada penegakan HAM, dan hak perempuan dan anak di Kota Subulussalam.

Opini

AKSES KEADILAN (ACCES TO JUSTICE)
UNTUK MASYARAKAT KURANG MAMPU


A
kses keadilan (Acces to Justice) yang dirasakan oleh sebagian masyarakat selama ini hanyalah sebuah retorika belaka. Dimana untuk mendapatkan sebuah keadilan dirasakan sebahagian masyarakat sangat mahal harganya untuk didapatkan artinya bahwa keadilan hanyalah milik orang kaya belaka. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kasus yang terjadi selama ini di masyarakat.

Berbagai kasus diketemukan namun agak risih rasanya untuk dijumpai penyelesaian yang berkeadilan hukum bagi seseorang yang seyogyanya mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya.
Sehingga timbul berbagai pertanyaan (anggapan pesimis) atau istilah ditengah-tengah masyarakat, antara lain: keadilan itu mahal harganya atau dengan istilah lain yaitu; UUD (Ujung-Ujungnya Duit), KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).


Mengingat semakin tingginya kasus diskriminatif selama ini terjadi, maka semakin tinggi pula kepedulian masyarakat untuk bergandengan tangan untuk melawan penindasan (diskriminatif) yang dilakukan.

Banyak masyarakat beranggapan bahwa penjajahan di Tanah Pertiwi masih saja berlangsung bahkan makin hari penjajahan itu masih sering diketemukan.

Penjajah (kolonial) telah pergi, maka sekarang yang ada adalah penjajahan yang diakomodir oleh orang-orang yang serakah dengan kekuasaan (dalam hal ini dapat digolongkan sebagai mafia berjubah dengan menggunakan kemeja berdasi, dan berwajah kemunafikan) dengan berbagai cara mereka lakukan demi untuk mencapai tujuan.

PERTANYAAN
Sejauhmana diskriminatif keadilan itu akan berakhir ditengah-tengah masyarakat saat ini ?
Berbagai contoh kasus sebagaimana yang diberitakan media massa baik cetak, elektronik, dan lain sebagainya akhir-akhir ini adalah “bagaimana nasib seorang ibu yang mencuri tandan buah sawit sampai dihukum lebih dari setahun penjara demi untuk bertahan hidup atau seorang anak yang masih dibawah umur mencuri voucher Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah) harus di tangkap dan ditahan oleh pihak aparat penegak hukum dan atau kasus lainnya yang mungkin satu persatu sering diketemukan ditengah-tengah masyarakat”.

Pemberian sanksi hukum bila di bandingkan kasus korupsi yang dilakukan para koruptor selama ini sangat jauh berbeda penanganannya. Dengan kata lain bahwa “Koruptor masih bisa tersenyum dan melambaikan tangan-Nya bila berhadapan dengan hukum sedangkan bagi Si MISKIN yang berkonflik dengan hukum penuh dengan air mata dalam keadaan tangan diborgol dan diperlakukan tidak manusiawi oleh para aparat penegak hukum”.

Persamaan kedudukan dihadapan hukum (keadilan) pada dasar diatur dalam berbagai instrumen hukum baik hukum internasional maupun hukum nasional. Sebagai dasar fundamental persamaan hak didasarkan pada pondasi berdirinya negara khususnya Negara Kesatuan Rupiblik Indonesia (NKRI) yaitu Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama baik dihadapan hukum dan pemerintahan. Maka jelas disini bahwa setip warga negara baik yang kaya maupun orang miskin mempunyai hak yang sama.

Pemaparan berbagai kasus dan istilah sebagaimana yang dituangkan diatas mendorong penulis untuk menuangkan dalam buah pikir berupa tulisan sebagaimana yang telah diterbitkan berbagai media cetak baik lokal dan nasional antara lain: Ada Apa dengan Penegakkan Hukum di Indonesia ? (dapat dilihat di Harian KPK POS), SaatNya Reformasi dan Re-genasi Penegak Hukum di Indonesia, dan lain sebagainya.

Berbagai lembaga penegak hukum terbentuk sejak NKRI terbetuk dari orde lama, orde baru bahkan reformasi, namun tetap saja KEADILAN yang didamba-dambakan masih saja belum juga diketemukan wujudnya.

Cita-cita reformasi adalah membawa perubahan khususnya penegak hukum untuk meninggalkan kinerja buruk menuju kinerja yang lebih baik.

SOLUSI PENYELESAIAN

Untuk mewujudkan KEADILAN, berbagai hal yang harus dilakukan antara lain: Pertama, Niat untuk berbuat lebih baik dari penegak hukum itu sendiri (Personality Responsibility); Kedua, rekrutment penegak hukum yang sifatnya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dijauhkan, sebaiknya rekrutment dilakukan berdasarkan skill (kemampuan) personil; Ketiga, adanya kontroling, sanksi yang tegas bagi penegak hukum yang menyimpang dari tupoksinya.

Selain pencegahan (perventif) yang perlu juga dilakukan adalah antisipasi persuasif akibat dari tindakan yang dilakukan dalam hal untuk mendapatkan KEADILAN, antara lain:
Pertama, perhatian pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal menyediakan pendanaan Bantuan Hukum. Artinya akibat ketidak mampuan seseorang yang berkonflik dengan hukum dalam hal untuk menyediakan bantuan hukum maka berat rasanya untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya.

Maka yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah menyediakan pengalokasian anggaran untuk membiayain penyedian bantuan hukum bagi orang-orang yang kurang mampu sebagaimana yang diamanatkan baik oleh UUD 1945.

Penganggaran dimaksud sangat dibutuhkan mengingat Bantuan Hukum yang didapatkan dari lembaga hukum selama ini dirasakan kurang maksimal dalam hal memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum, hal ini tidak lain adalah dikarenakan masalah operasional dan lain sebagainya sehingga dirasakan bantuan yang diberikan juga cuma-Cuma alias apa adanya.

Penulis,
Pengamat Hukum Pidana Indonesia dan
Direktur Eksekutif LAMPUAN Kota Subulussalam
Alumni Pascsarjana UNPAD Bandung