Perjuangan


Perjuangan Ku dimulai dari rasa MALU....
MALU membuat_ku untuk berbuat yang terbaik

"Janji TUHAN Bagi_Ku seperti Fajar Pada PAGI HARI yang selalu CERAH dan BERSINAR"

"Pada Saatnya Kamu Akan Tahu bahwa Janji TUHAN INDAH PADA WAKTU_Nya"

Jumat, 30 September 2011

Makalah Presentasi

HAK-HAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Oleh :
NOBUALA HALAWA, SH.,MH



PENDAHULUAN

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga, untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian dirinya. Jika kualitas perilaku dan pengendalian dirinya tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi tontonan keseharian masyarakat saat ini, hal ini dapat dilihat dari pemberitaan dari berbagai media baik media cetak, elektronik maupun media lainnya. Korban Kekerasan yang dialami sebagian besar dialami oleh Perempuan, Anak, Pembantu Rumah Tangga bahkan Suamipun juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Salah satu konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri di dalam rumah tangga. Kenyataan menunjukan bahwa jumlah kasus kekerasan semakin meningkat, dari kasus-kasus kekerasan tersebut.
Dengan pengaturan hak dan kewajiban yang sama bagi suami-isteri di dalam kehidupan rumah tangga, pergaulan masyarakat, dan dimuka hukum, maka kehidupan antara suami-isteri akan terhindar dari perselisihan atau tindakan-tindakan fisik yang cenderung menyakiti dan membahayakan jiwa seseorang. Namun pada kenyataannya berbicara lain karena semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di masyarakat.
Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menjelaskan bahwa hak setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  Serta segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Secara spesifik Hak Perempuan dalam Konsideran UU PKDRT dijelaskan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
Sedangkan dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan pertama, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; kedua, bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; ketiga, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; keempat, bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi; kelima, bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Dalam Konvensi Hak Anak, ada 4 (empat) prinsip dasar yang kemudian dirumuskan utuh dalam Pasal 2 UU No. 23 tahun 2002. Prinsip-prinsip umum (general principles) KHA yang diserap sebagai prinsip-prinsip dasar dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, yakni: pertama, Non diskriminasi; kedua, kepentingan terbaik bagi anak; ketiga, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; keempat, Penghargaan terhadap pendapat anak.
Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2), dirumuskan secara eksplisit hak anak dari diskriminasi, yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Atas amanah yang diberikan oleh undang-undang tersebut diatas maka dalam makalah ini dituangkan buah pemikiran tentang “HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DIHUBUNGKAN DENGAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PKDRT DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.

IDENTIFIKASI MASALAH
Adapun yang menjadi identifikasi masalah dalam makalah ini adalah:
1.    Sejauhmana hak-hak korban menurut UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak ?
2. Faktor-Faktor dan upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam hal pemberantasan PKDRT ?

PEMBAHASAN
1.       Pengertian
a.        KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi :
1.      Kekerasan Fisik (physical abuse) (Pasal 6): adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Yang dimaksud dengan rasa sakit adalah kondisi seseorang mengalami penderitaan dan menjadi tidak berdaya paling singkat dalam waktu 1x24 jam. Bentuknya Seperti tamparan, menendang, pukulan, menjambak, menusuk, mendorong, memukul dengan sengaja.
2.      Kekerasan Psikis/emosional (emational abuse) (Pasal 7): adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Seperti (menghina, mengancam, atau menakut-nakuti sebagai sarana untuk memaksakan kehendak, mengisolasi isteri dari dunia luar). Bahkan menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif Gender, kekerasan pshikis meliputi juga membatasi isteri dalam melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-hak reproduksinya sebagai perempuan. 
3.      Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c meliputi :
1)  Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2)   Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4.      Penelantaran Rumah Tangga (econimic abuse) Pasal 9 UU PKDRT adalah :
(1)  Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)    Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

b.       PKDRT
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

c.        Korban
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

d.       Perlindungan
Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

2.       Ruang Lingkup KDRT
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT menjelaskan Lingkungan Keluarga:
a)        Suami, isteri, dan anak;
b)       Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c)        Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

3.       Asas dan Tujuan
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a)        Penghormatan hak asasi manusia;
b)       Keadilan dan kesetaraan gender;
c)        Non diskriminasi; dan
d)       Perlindungan korban.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan:
a)        Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b)       Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c)        Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d)       Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

4.       Hak-Hak Korban KDRT

Menurut Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, Korban KDRT berhak mendapatkan:
a)        Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b)       Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c)        Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d)       Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e)        Pelayanan bimbingan rohani.

5.        Faktor-faktor dan upaya yang dilakukan terhadap PKDRT
1)      Faktor sulitnya PKDRT
KDRT khususnya Pada kasus kekerasan yang terjadi antara suami dan isteri dalam rumah tangga berbeda dengan kejahatan pada umumnya, pada tindak kekerasan ini, situasi dan kondisi isteri sebagai pihak korban adalah sedemikian rupa, sehingga pihak pelaku memanfaatkan pihak korban untuk memenuhi kepentingannya berdasarkan motivasi dan rasionalisasi tertentu. Bahkan kadang-kadang melegitimasi tindakan jahatnya atas motivasi dan rasionalisasi tersebut.
1.      Sehingga dalam perkara tersebut seringkali bukti dan saksi sangat minim bahkan tidak ada. Dan untuk dapat menjerat pelaku KDRT, maka kemudian dilakukan terobosan baru dalam sistem pembuktiannya, yaitu dengan memberlakukan satu alat bukti merupakan bukti.  Hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 55 yang menyebutkan bahwa : “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.”
2.      Meski demikian, tidak serta-merta akan memenuhi harapan para perempuan yang merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mendapatkan keadilan, mengingat kondisi penegakan hukum di negara ini yang masih jauh dari harapan dan tidak lepas dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lebih menguntungkan pihak yang mempunyai kekuatan, baik kekuasaan ekonomi, sosial, maupun budaya.

Upaya Terhadap Pelaksanan PKDRT
Untuk terciptanya penegakan hukum yang baik, maka harus dibutuhkan faktor-faktor yang menunjang terciptanya penegakan hukum tersebut. Antara lain: pertama, faktor hukum; kedua, faktor penegak hukum; ketiga, faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; keempat, faktor masyarakat, kelima, faktor kebudayaan.
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa untuk terciptanya penegakan hukum yang efektif, maka kelima faktor tersebut harus saling berkesinambungan satu sama lain, karena apabila salah satu dari kelima faktor tersebut didapati adanya kecacatan dalam hal menjalankan tugasnya tersebut maka penegakan hukum tidak akan berjalan efektif. diantara kesemua faktor tersebut di atas, faktor penegak hukumlah yang dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas. Sehingga jika dalam faktor penegakan hukum ditemukan adanya kecacatan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, maka penegakan hukum yang diterapkan sudah pasti tidak akan berjalan efektif, dan tidak sesuai dengan isi dari undang-undang yang mengaturnya tersebut.
Selain dari 5 (lima) faktor diatas, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing  sebagaimana yang diamanat Pasal 13 UUPKDRT dapat melakukan upaya:
a.    Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b.   Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
c.    Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.   Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya. 


Ketentuan Hukum Pidana Formil Dalam UU PKDRT
Hukum acara yang berlaku dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur sesuai dengan KUHAP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 UU PKDRT yang berbunyi : ” Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
       UU PKDRT mengatur beberapa ketentuan tentang beracara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHAP, sehingga yang berlaku adalah ketentuan yang ada dalam UU PKDRT, diantaranya  adalah :
1.      Adanya kewajiban dari kepolisian untuk segera memberikan perlindungan sementara pada korban dalam waktu 1x24 jam sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga. (Pasal 16)
2.      Diperbolehkannya relawan pendamping dan penasehat hukum korban untuk mendampingi korban di setiap tingkat penyidikan, penuntutan, atau tingkat pemeriksaan di pengadilan. (Pasal 17)
3.      Adanya kemungkinan pidana tambahan di luar denda atau penjara, berupa pembatasan gerak pelaku, pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, dan penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. (Pasal 50)
4.      Diakuinya keterangan seorang saksi korban sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (Pasal 55)
5.      Laporan tertulis hasil pemeriksaan korban berupa Visum et Repertum atau surat keterangan medis/rekam medis memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.
6.       Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat (rumah sakit swasta)
7.      Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka pengadilan dapat mewajibkan pelaku:
a.        untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
b.      Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
c.       Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan. (Pasal 38)

            Dalam hal perlindungan anak, orang tua merupakan garda terdepan dalam upaya perlindungan anak. Dalam Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditegaskan,
Orangtua diposisikan pada paling depan bagi upaya perlindungan anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orangtuanya sendiri”.


KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana dimaksud dalam makalah ini diharapkan kedepan guna perbaikan dan kemajuan dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, antara lain:
Guna terjaminya penegakan hukum maka diperlukan adanya tindakan yang baik dan tepat dari para penegak hukum yang bisa memberi arti penting kekerasan yang menimpa korban KDRT sehingga korban kekerasan tidak ragu untuk melanjutkan niatnya melaporkan kekerasan yang terjadi atau yang diterimanya. Karena selama ini masih banyak kasus kekerasan yang ragu untuk dilaporkan atau diadukan ke kepolisian karena takut tidak ditanggapi oleh aparat, dan takut dicemooh ketika melaporkan kasusnya.




[1]        Nobuala Halawa, SH.,MH, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak (LAMPUAN) Kota Subulussalam, Staff Ahli Ketua DPRK Subulussalam, Konsultan Hukum Pada Kantor Hukum GULTOM, HALAWA & REKAN Medan, Makalah disampaikan dalam Acara Sosialisasi Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang diselenggarakan Badan Pemberdayaan Perempuan Kota Subulussalam. Subulussalam, 14 Februari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar